Gelombang Kebangkrutan di Negara Berkembang: Ancaman Utang Menghantui Masa Depan

Co.id Mudah-mudahan selalu ada senyuman di wajahmu. Di Tulisan Ini saya akan membahas manfaat internasional yang tidak boleh dilewatkan. Tulisan Yang Mengangkat internasional Gelombang Kebangkrutan di Negara Berkembang Ancaman Utang Menghantui Masa Depan Pastikan Anda membaca hingga bagian penutup.
Bank Pembangunan Internasional dan Bank Pembangunan Afrika saat ini tengah melaksanakan kampanye global untuk mendorong negara-negara berkontribusi terhadap aset cadangan IMF, yang dikenal dengan istilah hak penarikan khusus. Mereka percaya bahwa setiap pengeluaran sebesar US$1 dapat dikonversi menjadi pinjaman sebesar US$8. Namun, menurut estimasi dari ONE, aliran dana tersebut diperkirakan akan menjadi negatif bersih bagi negara-negara berkembang pada tahun 2023.
Sementara itu, diplomat ekonomi utama dari Departemen Keuangan AS mengingatkan perlunya solusi baru untuk memberikan dukungan likuiditas jangka pendek kepada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Ini penting guna mencegah terjadinya krisis utang yang lebih parah. Selama beberapa tahun terakhir, biaya untuk melunasi utang telah meningkat drastis bagi negara-negara tersebut, dan Bank Dunia serta lembaga lainnya terus berjuang untuk meyakinkan negara-negara maju supaya lebih banyak menginvestasikan dana mereka dalam bentuk pinjaman.
Situasi ini berpotensi menghambat laju pembangunan dan mitigasi perubahan iklim yang sedang berjalan, serta menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan lembaga internasional. Di sisi lain, gelombang gagal bayar atau default oleh negara-negara pasca-pandemi COVID-19 semakin mencapai puncaknya. Pembayaran utang kepada China menjadi salah satu beban terbesar bagi pemerintah negara berkembang, dengan Angola, Brasil, Nigeria, dan Pakistan termasuk di antara yang merasakannya.
Banyak negara tersebut yang sebelumnya memiliki akses ke pinjaman obligasi sekitar satu dekade yang lalu, kini harus menghadapi jatuh tempo yang besar pada saat suku bunga global mengalami kenaikan, sehingga refinancing menjadi sangat sulit. Dana Moneter Internasional (IMF) bersama sejumlah pihak lain juga mengungkapkan keprihatinan serupa, sebagaimana dibahas dalam pertemuan IMF-World Bank di Washington DC baru-baru ini.
Menurut Christian Libralato, manajer portofolio di RBC BlueBay, tantangan yang dihadapi sekarang adalah bahwa bagi banyak negara, pembayaran utang semakin meningkat, biaya pinjaman terus melambung, dan sumber pendanaan eksternal pun semakin tidak pasti. Bank-bank pembangunan pun berusaha memaksimalkan potensi pinjaman yang ada. Negara-negara seperti Ghana, Sri Lanka, dan Zambia harus menghadapi realitas pahit akibat penyelesaian utang yang berkepanjangan.
Bank Dunia telah mengumumkan niatnya untuk meningkatkan kapasitas pinjaman sebesar US$30 miliar dalam periode sepuluh tahun mendatang, yang sejajar dengan pemangkasan bantuan yang dilakukan oleh pemerintah Inggris di bawah kepemimpinan PM Rishi Sunak. Kekurangan likuiditas yang berbahaya sangat mungkin terjadi di antara kelompok negara tersebut. Data dari ONE Campaign menunjukkan bahwa pada tahun 2022, ada sebanyak 26 negara yang mengeluarkan lebih banyak dana untuk utang luar negeri dibandingkan dengan yang mereka terima dari pembiayaan baru.
Menurut Ishak Diwan, Direktur Penelitian di Finance for Development Lab, jaring pengaman keuangan sosial global yang dipimpin IMF tidak cukup mendalam untuk mengatasi krisis saat ini. Dengan kata lain, meskipun data resmi belum lengkap, transaksi negatif bersih untuk tahun 2023 dan 2024 diprediksi akan lebih parah. Salah satu langkah yang sedang dilakukan adalah melalui Global Sovereign Debt Roundtable, yang mempertemukan perwakilan dari berbagai negara, pemberi pinjaman swasta, dan lembaga internasional untuk mencari solusi.
Namun, meski IMF, Bank Dunia, dan lembaga lainnya sudah berupaya untuk memberikan pembiayaan baru, kenyataannya tidak sebanding dengan meningkatnya biaya yang dihadapi. IMF sendiri telah memangkas biaya tambahan, menurunkan biaya bagi peminjam yang paling tertekan. Masalah ini dapat semakin buruk, terutama jika negara-negara barat, yang merupakan para pemberi utang, semakin enggan untuk mengucurkan dana mereka.
Vera Songwe, Ketua dari Liquidity and Sustainability Facility, mengungkapkan bahwa perbaikan yang dilakukan saat ini tidak memadai dalam hal skala dan kecepatan yang diperlukan. Ia menekankan bahwa negara-negara terpaksa mengurangi anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur demi memenuhi kewajiban pembayaran utang. Menariknya, tekanan serupa juga dialami oleh negara-negara maju, yang mengindikasikan bahwa masalah utang merupakan tantangan global yang perlu dihadapi bersama.
Itulah informasi komprehensif seputar gelombang kebangkrutan di negara berkembang ancaman utang menghantui masa depan yang saya sajikan dalam internasional Selamat menerapkan pengetahuan yang Anda dapatkan tetap semangat berkolaborasi dan utamakan kesehatan keluarga. Mari berbagi informasi ini kepada orang lain. Sampai jumpa di artikel selanjutnya
✦ Tanya AI