Transformasi Energi: Campuran Minyak Sawit 35% pada BBM Buat RI Hemat Rp 512 Triliun!

Co.id Mudah-mudahan harimu cerah dan indah. Pada Kesempatan Ini mari kita diskusikan internasional yang sedang hangat. Penjelasan Mendalam Tentang internasional Transformasi Energi Campuran Minyak Sawit 35 pada BBM Buat RI Hemat Rp 512 Triliun Mari kita bahas tuntas artikel ini hingga bagian penutup.

Kegiatan dalam sektor kelapa sawit berperan penting dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi, memperbaiki neraca perdagangan, mengendalikan inflasi, serta beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Hal ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Di Jakarta, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) aktif mendukung inisiatif pemerintah yang berencana meningkatkan campuran biodiesel menjadi 40% (B40) pada tahun depan.

Direktur BPDPKS, Normansyah Hidayat Syahruddin, menekankan bahwa pengembangan biodiesel sebagai salah satu sumber energi terbarukan akan mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar impor. Ia juga menyebutkan bahwa industri kelapa sawit yang merupakan sektor padat karya memiliki kontribusi ekonomi yang besar.

Dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan komposisi biodiesel dari B35 ke B40, B50, dan seterusnya, peran BPDPKS menjadi semakin penting. Menurut Normansyah, program B35 yang saat ini berjalan telah berhasil menghemat devisa hingga Rp512,07 triliun. Pada Seminar Rumah Sawit Indonesia (RSI) yang diadakan di Jakarta pada 18 November 2024, ia menyampaikan pencapaian ini.

Pemerintah telah berhasil menjaga program mandatori biodiesel meskipun dalam situasi sulit seperti pandemi dan fluktuasi harga minyak global. Di tahun 2023, penyaluran biodiesel telah mencapai 12,26 juta kiloliter, sementara hingga Agustus 2024, volume penyaluran biodiesel mencapai 8,35 juta kiloliter.

Meski demikian, industri kelapa sawit menghadapi serangkaian tantangan. BPDPKS selaku pengelola dana dari pungutan ekspor kelapa sawit memiliki tanggung jawab untuk memastikan keberlangsungan program ini. Beberapa tantangan yang dihadapi termasuk rendahnya produktivitas (dengan rata-rata 2,8 ton CPO per hektar per tahun), keberadaan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan yang diperkirakan mencapai 3 juta hektar, masalah legalitas, serta infrastruktur yang kurang memadai.

Normansyah juga mengungkapkan bahwa industri sawit tidak hanya menghadapi tantangan domestik tetapi juga berbagai kendala global yang kompleks. Hal ini mencakup hambatan perdagangan, baik yang bersifat tarif maupun non-tarif, serta isu black campaign terhadap produk sawit di pasar internasional.